Surabaya, Jawa Timur || Gerbang News
Kalangan media massa hendaknya mencermati survei politik yang hasilnya banyak berbeda – beda antara satu survei dengan hasil survei lainnya.
Terkadang perbedaan angkanya sangat mencolok, sehingga secara umum terbangun kesan bahwa akurasi survei politik jauh dari fakta dan presisi data secara ideal.
Demikian dikatakan Lutfil Hakim, Ketua PWI Jatim, saat dimintai pendapat tentang banyaknya survei politik yang berbeda – beda hasilnya secara mencolok.
“Capres X, misalnya, hasil surveinya oleh lembaga tertentu angkanya sangat tinggi. Tapi oleh lembaga survei nlainnya hasilnya jauh di bawah. Ini bisa menimbulkan kegaduhan di ruang publik dan berpotensi kerawanan keamanan,” kata Lutfil melalui keterangan tertulisnya, Kamis (19/10/2023).
Oleh karena itu, Ketua PWI Jatim ini meminta kepada teman – teman pers untuk lebih selektif memuat hasil survei dengan tetap mengedepankan prinsip – prinsip jurnalistik secara kaffah.
“Bukan asal muat rilis hasil survei. Tapi wajib dilakukan cek & ricek, memastikan bahwa lembaga pelaksana survei benar – benar bekerja secara independen. Bukan pesanan untuk pemenangan salah satu capres. Pers wajib netral, cover-both side, profesional dan proporsional,” tegasnya.
Pers nasional, lanjut Lutfil, memiliki tanggungjawab moral untuk suksesnya pelaksanaan Pesta Demokrasi 2024 dengan harapan bisa melahirkan kepemimpinan nasional yang berkualitas.
Fungsi pers yang harus dikedepanlkan di musim politik adalah fungsi kontrol (watchdog) agar semua proses pemilu berjalan secara benar dan baik.
“Pers wajib melakukan kontrol melalui berita, opini, atau laporan indepth terhadap proses pemilu, baik atas kerja KPU, Bawaslu, maupun terhadap peserta pemilu, serta memberikan edukasi cerdas kepada publik. Pers bertanggungjawab agar pemilu terlaksana secara demokratis, luber, jurdil dan terbebas dari kecurangan kepentingan para pihak,” katanya.
Lutfil juga berpesan agar pers nasional bisa menjaga ‘Pagar Api’ (fire-wall), yakni membedakan secara profesional dan proporsional antara konten berita dan konten promosi politik.
“Pada konten berita terdapat hak publik untuk mendapatkan info yang benar dan jujur terkait pemilu. Jangan hanya karena mendapat iklan lantas pers menjadi tendensius dan tidak proporsional, itu jelas – jelas melanggar Kode Etik Jurnalistiki dan UU Pers, serta menabrak UU Pemilu,” kata Lutfil.
( Redaksi )