Eko Gagak : Refleksi Pemilu di Era Orde Baru dan Reformasi
Uang Negara Hanya Demi Pejabat dan Wakil Rakyat, Bukan Untuk Seluruh Rakyat
Surabaya, Jawa Timur || Gerbang News
Pilpres, Pileg dan Pilkada untuk siapa? Pemilu terselenggara tidak berdampak kepada seluruh rakyat.
Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, DPD pada 14 Februari 2024 telah usai. Anggaran Pemilu tahun 2024 berkisar Rp. 112 triliun, rincian untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) kira-kira sebesar Rp. 86 triliun bersumber dari APBN multiyears, sedangkan anggaran Pilkada Serentak tahun 2024 berkisar Rp. 26 triliun berasal dari APBD.
Skala prioritas anggaran APBN/APBD tidak dipergunakan untuk urusan seluruh rakyat karena rakyat kembali akan dipalak melalui berbagai pajak dan retribusi untuk menutupi biaya APBN. Sistem demokrasi, suara terbanyak yang akan menang dan sudah dapat dipastikan atau ditebak akan bercokol para penguasa yang didukung oleh pengusaha besar atau konglomerat. Rakyat dipaksa memilih kucing di dalam karung.
Berganti rezim tetapi rakyat masih saja terzalimi, hidup sengsara dan sungguh rakyat sudah muak kerap berada dalam kepemimpinan tanpa keadilan dan kesejahteraan. Meski rezim sudah menyatakan bahwa Pemilu tahun 2024 akan tetap diselenggarakan sesuai aturan.
Pesta demokrasi dalam sistem kapitalis sekuler hanya berpihak pada para oligarki bukan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Pilkada Serentak tahun 2024 merupakan bagian integral dari rezim, momentum mengakselerasi program-program yang telah dicanangkan. Pilkada Serentak dilaksanakan pada 27 November 2024 sebagai penyelenggaraan terakhir dari rangkaian Pemilu tahun 2024.
Kondisi ekonomi sulit dan terpuruk harga kebutuhan pokok melambung tinggi, saat ini beras premium berkisar Rp.18.000,- perkilogram belum dengan kebutuhan lain seperti pajak, tarif listrik dan pengurangan subsidi bahan bakar minyak atau BBM.
Pemerintah dan wakil rakyat seakan tidak peduli dengan penderitaan rakyat yang semakin bertambah. Gaji serta tunjangan pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif dan ASN di naikkan secara signifikan.
Beragam pelanggaran pemilu dan politik uang seakan wajar tidak melanggar perundang-undangan, sungguh ironis sebagian besar rakyat menjadikan pemilu sebagai ajang pesta demokrasi, skeptis dan pragmatisme berpolitik.
Banyaknya kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan yang dilakukan oleh pejabat publik atau pejabat negara membuat masyarakat hilang kepercayaan terhadap pemerintahan eksekutif, yudikatif dan legislatif.
Tidak bisa dipungkiri biaya politik meningkat tajam, realitas demikian membuat pejabat eksekutif dan legislatif akan berfikir keras tentang cara bagaimana mengembalikan modal, pasti solusinya adalah melalui korupsi. Seperti misal, jika pemilu 2019 caleg DPRD Kabupaten/Kota menghabiskan biaya Rp. 1-1.5 milyar untuk memperoleh 1 kursi. Pada tahun 2024 mereka harus mengeluarkan biaya Rp. 2.5-4 milyar. Banyak pula caleg yang gagal memperoleh kursi hingga akhirnya stres, depresi dan gila.
Perubahan mekanisme pemilu dari representatif menjadi langsung faktor pendukungnya adalah kebijakan regulatif dalam bentuk otonomi daerah, UU Pemerintahan Daerah dan dihapuskannya dwi fungsi ABRI. Di era orde baru demokrasi mulai menguat meskipun belum dijalankan seutuhnya.
Pemilihan Legislatif (Pileg) untuk wakil rakyat di parlemen, baik pusat maupun daerah dijalankan secara langsung dengan rakyat sebagai pemilih. Namun tidak dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Rezim pemilu representatif untuk level eksekutif dalam hal mana Presiden/Wakil presiden, Gubernur/Wakil gubernur, Bupati/Wakil bupati dan Wali kota/Wakil walikota dipilih oleh parlemen di level masing-masing.
Yang menjadi cacat demokrasi di era orde baru adalah belum adanya batasan periode waktu berkuasa untuk Presiden/Wakil Presiden, serta dijalankannya dwi fungsi ABRI yang berdampak pada dikaryakannya pejabat militer aktif sebagai pejabat kepala daerah. Situasi bisa dikatakan demokrasi belum sepenuhnya yang dijalankan sesuai kaidah.
Era pasca reformasi menjadi titik balik politik elektoral di level daerah ketika amandemen konstitusi mengamanatkan Presiden dipilih langsung oleh rakyat, maka Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2004 menjadi momentum pelaksanaannya.
Argumentasi yang dipakai adalah dipilih langsung oleh rakyat. Klaim legitimasi ini menimbulkan perbenturan satu sama lain. Tak heran jika ada program kerja pemerintah di level pusat berbeda dengan level provinsi, demikian pula halnya dengan level provinsi yang berbenturan dengan level Kabupaten/Kota.
Dinamika dan sikap politik Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) tidak selalu berjalan paralel dengan dinamika daerah meskipun satu parpol tidak berkoalisi dengan parpol lain di Pemilihan Legislatif (Pileg). Akan tetapi, peluang koalisi terbuka pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ketidak-adanya haluan negara dalam proses pembangunan nasional kerap kali menimbulkan ketimpangan dalam rezim yang memerintah. Seringkali antara satu rezim dengan yang lainnya tidak berkesinambungan dan saling menegasikan.
Demikian pula halnya dengan kolaborasi antara pusat dan daerah, yang kerap terkendala karena visi-misi yang berbeda antar-level pimpinan.