Surabaya || Gerbang News
Rencana pengesahkan RUU Omnibus Law tentang Cipta Kerja dalam waktu dekat mengundang kecaman jutaan buruh. Di Jawa Timur, rencananya akan dilakukan unjuk rasa pada 6 – 7 Oktober.
Sekretaris FSPMI Kota Surabaya Nuruddin Hidayat mengatakan, aksi tersebut merupakan wewenang pimpinan federasi serikat pekerja di masing-masing Kabupaten atau Kota, dengan sasaran pabrik sekitar, kawasan industri dan kantor pemerintahan.
“Puncaknya nanti tanggal 8, buruh se-Jatim kumpul jadi satu,” ujarnya dalam press rilis, Selasa (06/10/2020).
Untuk hari ini, lanjut Nuruddin, FSPMI Surabaya keliling di kawasan SIER Rungkut Industri untuk mensosialisasikan Omnibus Law.
Pihaknya menyerukan untuk berjuang bersama, baik buruh yang berserikat maupun tidak berserikat untuk turun di jalan.
“Tanggal 7 keliling di kawasan Margomulyo. Setelah itu, kegiatan terakhir tanggal 8. Untuk Surabaya yang keliling sekitar 200-an,” imbuhnya.
Menurutnya Nuruddin, banyak sekali elemen yang turun di Gedung DPRD Jatim hari ini. Tetapi, dari organisasi FSPMI, cuma melakukan sosialisasi.
Nuruddin berpendapat, serikat buruh yang turun di DPRD Jatim berasal dari elemen lain, ada SPSI, Getol dan lain lain.
“Jadi, untuk hari ini tidak hanya satu serikat, seluruh serikat gerak bareng. Tanggal 8 ada 2 titik rencananya, di DPRD Jatim dan Kantor Gubernur Jatim Jalan Pahlawan,” tuturnya.
“Tuntutannya cuman 1, RUU Cipta Kerja yang disahkan kemarin,” sambung Nuruddin.
Secara tegas, buruh melakukan penolakan. Karena di dalam RUU tersebut, menghilangkan UMK.
Selain itu, kalau RUU ini disahkan, maka kemungkinan besar upah buruh bakal dipangkas 50%. Pesangon yang awalnya 32 menjadi 25, kontrak kerja seumur hidup yang awalnya ada batasan maksimal di dalam RUU ini, tidak ada batasan.
“Jadi, dapat dipastikan kalau kontrak habis atau di PHK, para buruh tidak dapat pesangon. Makanya kami menolak itu,” terang Nuruddin.
Rencananya, buruh yang dikerahkan berjumlah 25 ribu, yang merupakan gabungan dari semua serikat pekerja di Jatim, ditambah elemen mahasiswa dan aktivis lingkungan.
“Karena Omnibus Law tidak hanya merugikan buruh, tapi juga terkait klaster lain, merugikan lingkungan,” pungkasnya. ( Syam )