Surabaya, Jawa Timur || Gerbang News
Permasalahan surat ijo yang tidak kunjung selesai, setelah warga surat ijo dan FASIS menyuarakan aspirasinya ke ombudsman Jatim, kali ini menggelar Konferensi Pers di Balai RW Jalan Ngagel Wasono 1 Surabaya, Sabtu (04/05/2024) Pukul 12:00 WIB.
Tampak hadir dalam acara tersebut, Ketua umum Fasis Saleh Alhasni, Johniel Lewi Santoso, S.H., M.H., M.Kn., Pengawas Fasis, Budianto Ketua FASIS, Korban Surat Tanah Ijo, sekretaris FASIS Budianto, 30 Warga Surat Ijo Surabaya Wentje Rumambi, Purwo Martono dan Praktisi Hukum Sarah Serena, S.H.
Dalam keterangannya saat Konferensi Pers, Ketua umum FASIS Saleh Alhasni didampingi Praktisi Hukum Sarah Serena, S.H., dan pengawas FASIS Johniel Lewi Santoso mengatakan, menyikapi komentar Dirjen Penanganan Konflik dan Sengketa Tanah Kementerian ATR/BPN dalam acara seminar jaminan hak atas tanah di Universitas Surabaya, pada hari Jum’at, tanggal 3 Mei 2024, mengatakan bahwa dengan adanya Peraturan Daerah Izin Pemakaian Tanah (IPT) Nomor 1 Tahun 1997 yang kemudian dirubah dengan IPT nomor 3 tahun 2016 secara tidak langsung menghapus hak pribadi warga kota Surabaya untuk memperoleh hak atas tanah di Kota Surabaya.
Hal ini dikarenakan Peraturan Daerah tersebut secara terang dan nyata bilamana izin yang diberikan Walikota atau pejabat yang ditunjuk untuk memakai tanah dan bukan merupakan pemberian hak pakai atau hak-hak atas tanah lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 5 tahun 1960.
“Penerbitan perda IPT dimaksudkan tersebut telah menimbulkan kerugian yang besar kepada warga kota Surabaya selaku warga negara Indonesia, dimana seharusnya mereka memperoleh hak atas tanah untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan keluarganya justru malah berstatuskan menjadi tunawisma alias tidak memiliki tempat nya karena tanah dan bangunannya bukan milik nya,” ungkap Saleh Alhasni, Ketua umum FASIS saat Konferensi Pers, Sabtu (04/05/2024) pukul 15:09 WIB.
Ditambahkannya, harapan bagi warga kota Surabaya memperoleh kehidupan yang lebih baik justru malah menjadi mimpi buruk bagi warga kota Surabaya, karena selain tidak memiliki tempat tinggal atas nama sendiri juga harus membayar berbagai macam pungutan antara lain PBB walaupun tanah dan bangunannya atas nama Pemkot Surabaya, retribusi izin pemakaian tanah dengan perhitungan: Luas tanah x NJOP x lebar jalan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) padahal yang dialihkan hanya surat IPT nya saja, karena tanah dan bangunannya atas nama pemerintah kota Surabaya.
Berdasarkan uraian tersebut kami, Forum Analisis Surabaya (FASIS) menyatakan sikap :
1. Menolak praktek mal administrasi hak menguasai negara berlanjut dengan melalui konversi IPT menjadi HGB diatas HPL.
2. Meminta kepada Menteri ATR/BPN RI untuk menyatakan SK HPL 1997 masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 101 ayat 1 peraturan pemerintah nomor 18 tahun 2021.
3. Meminta kepada Menteri ATR/BPN RI untuk menggunakan diskresinya sesuai dengan ketentuan Pasal 100 peraturan pemerintah nomor 18 tahun 2021 guna memerintahkan kepada pemerintah daerah kota Surabaya untuk melaksanakan diktum-diktum yang terdapat dalam SK HPL tahun 1997.
4. Meminta kepada Menteri ATR/BPN RI untuk menggunakan diskresinya untuk menghukum Pemkot Surabaya apabila tidak mau melaksanakan diktum-diktum dalam SK HPL 1997 dengan cara mencabut SK HPL tersebut dan mengembalikan tanah HPL tersebut ke posisi semula yakni tanah negara yang kemudian bisa diakses oleh warga kota Surabaya untuk memperoleh hak atas tanah sebagaimana jaminan Pasal 9 ayat 2 undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.
“Apabila dalam waktu 7×24 jam permintaan kami tidak ditanggapi, maka atas nama warga korban surat ijo Surabaya yang tersebar dalam 48.600 Persil meminta uang kami berupa uang pembelian atas tanah dan bangunan yang berstatus tanah pemerintah kota Surabaya, uang retribusi Izin Pemakaian Tanah (IPT) sejak pertama kali yang dibebankan kepada masing – masing warga oleh Pemkot Surabaya dan uang bea perolehan hak atas tanah atau bangunan (BPHTB) yang dibebankan kepada warga yang melakukan peralihan surat Izin Pemakaian Tanah agar dikembalikan sepenuhnya kepada kami. Bilamana setelah kami menerima uang pengembalian maka kami akan hengkang dari kota Surabaya selama lamanya karena kami tidak mau jadi korban praktek maladministrasi Pemkot Surabaya untuk kedua kalinya nya,” pungkasnya.